Dukun Digital
Cerita Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: Anak Semata Wayangku Dirasuki Jin Harimau!

SEBUAH KESAKSIAN….
Catatan Hitam

ANAK SEMATA WAYANGKU DIRASUKI JIN HARIMAU

KESEDIHAN kini tengah menyelimuti keluarga kami. Fikran, anak semata wayang kami tiba-tiba berprilaku aneh. Tengah malam dia sering mengaum-ngaum seperti harimau, sehingga membuat kami sekeluarga merasa amat takut. Tak hanya itu, Fikran juga gemar menyantap daging mentah. Bahkan, di depan mataku, Fikran pernah memakan hidup-hidup ikan Arwana kesayangan Papanya yang ada di
akuarium yang kami pajang di ruang tengah.

Begitulah sekilas gambaran perubahan tingkah laku Fikran yang aneh dan sulit diterima akal sehat itu. Semuanya terjadi ketika anak semata wayangku pulang itu dari kegiatan berkemah di lereng Gunung Gede Pangrango. Menurut cerita kawan-kawannya, saat berkemah di sana, Fikran memang sempat hilang selama semalam suntuk. Pagi harinya dia diketemukan tertidur di atas batu besar mirip altar, yang dipercaya
oleh penduduk setempat sebagai salah satu petilasan Prabu Siliwangi, Raja Padjadjaran terakhir yang menurut legenda masyarakat Parahyangan raib ke alam gaib setelah menolak ajakan cucunya, Pangeran Kian Santang, untuk memeluk agama Islam.

“Kenapa dengan Fikran, Kil?” Tanyaku kepada Akil yang siang itu pulang mengantar Fikran bersama Ulwan dan Ridho. Ketiganya memang sahabat anakku, dan mereka sering melakukan kegiatan bersama.

“Entahlah, Tante! Kami semua juga tidak mengerti,” jawab Akil dengan wajah lesu dan bingung.

“Tidak mengerti bagaimana?” Desakku.

“Semalam Fikran hilang, Tante!” Sela Ulwan dengan mimik yang sama seperti Akil.

“Hilang?” Kutatap Ulwan lekat lekat.

“Maksudnya hilang bagaimana? Bukannya semalam kalian sama-sama berkemah di Gunung Gede?”

Ulwan menarik nafas berat. Dengan gugup dia lalu menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, “Tante benar, semalam kami memang sama-sama berkemah di Gunung Gede. Tapi, menjelang Maghrib Fikran terpisah dengan kami. Mulanya, kami pikir Fikran sedang buang air besar di sungai. Tapi setelah lama kami tunggu, ternyata Fikran tidak juga muncul. Bahkan, sampai jauh malam Fikran tidak juga datang. Akhirnya, kami memutuskan untuk sama-sama mencarinya. Syukur. Alhamdulillah, setelah Subuh kami menemukan Fikran. Dia tertidur di batu keramat.”

Dadaku berdesir mendengar penjelasan Ulwan, dan aku mulai menangkap kesan sesuatu yang tidak beres. Pantas, saat datang tadi tubuh Fikran tampak sangat lemah, sampai-sampai dia harus dipapah oleh Ulwan dan Ridho. Tak hanya itu, sorot matanya juga nampak sangat dalam dan asing bagiku. Yang aneh, begitu masuk kamar Fikran langsung roboh di atas tempat tidur. Bahkan, sekejap kemudian dia mendengkur, dengan suara dengkuran seperti layaknya seekor harimau terlelap. Padahal, aku tahu persis kalau anak tunggalku itu tidak pernah tidur mendengkur seperti itu.

“Lalu, apa yang terjadi dengan Fikran selanjutnya?” Tanyaku sambil coba menyembunyikan kegelisahan.

Ulwan menatap Akil. Lalu, keduanya bersamaan memandang ke arah Ridho, yang sepertinya cukup mengerti bahwa kedua temannya menghendaki agar dialah yang berbicara untuk menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya. Buktinya, teman Fikran yang memang paling pendiam ini kemudian segera berbicara dengan gayanya yang lebih tenang.

“Sewaktu kami menemukan Fikran, dia sedang tidur sangat pulas di atas batu itu, Tante. Tapi, kami bertiga sangat takut untuk membangunkannya, sebab kami mendengar Fikran mendengkur dengan suara seperti layaknya seekor harimau yang sedang tidur. Kami ragu untuk membangunkannya.” Ridho menarik nafasnya. Setelah itu dia melanjutkan, “Setelah kami berembuk, akhirnya kami sepakat untuk membangunkan Fikran. Tetapi, sesuatu yang aneh dan tidak sedikitpun kami bayangkan tiba-tiba saja terjadi. Begitu bangun dari tidurnya, Fikran langsung menyerang kami. Fikran sepertinya kalap. Satu persatu kami dihajarnya, dan kami benar-benar tidak bisa menenangkannya’

“Untung ada warga kampung yang datang, Tante. Namanya Pak Tatang Muhtar. Beliaulah yang dapat menaklukkan Fikran, sehingga kami bertiga bisa luput dari serangannya,” tambah Akil.

“Kata Pak Tatang, Fikran kerasukan jin harimau, Tante!” Tegas Ulwan. “Tapi syukurlah, sebab Pak Tatang bisa menyembuhkan Fikran, sehingga kami semua pulang dengan selamat.”

Penegasan Ulwan membuat kerutan di atas keningku kian bertambah dalam. Tapi, aku tidak bisa begitu saja percaya dengan penjelasan mereka. Di samping sifatku yang kurang percaya pada hal-hal berbau gaib, aku juga curiga kalau anak-anak itu hanya ingin bersandiwara denganku. Toh, sejak awal aku memang tidak mengijinkan Fikran untuk ikut-ikutan berkemah dengan temannya di Gunung Gede. Malam minggu itu, aku dan Papanya berencana mengenalkan Fikran dengan Bella, anak Pak Kusno, teman sejawat suamiku, yang sejak kecil dititipkan di tempat neneknya di Yogya. Maklum saja, Fikran sekarang sudah berstatus sebagai mahasiswa, dan dia tipe anak yang kurang pandai mencari teman wanita. Aku dan Papanya berharap Fikran bisa jatuh cinta pada Bella, anaknya Pak Kusno yang juga sudah duduk di bangku kuliah semester awal itu.

Tetapi rencana itu akhirnya gagal karena Fikran ngotot harus ikut dengan teman-temannya berkemah di Gunung Gede.

“Pokoknya nanti saja aku main ke rumah Oom Kusno. Lagian, Fikran juga nggak mau dijodoh-jodohin. Fikran pasti bisa dapat pacar sendiri, belum waktunya aja!” Bantah Fikran Sabtu pagi itu, ketika kuutarakan niat aku dan Papanya yang ingin mengajaknya ke rumah Pak Kusno dan mengenalkannya dengan Bella.

Namanya saja anak semata wayang, keinginan Fikran memang sering kali sulit kami halang-halangi. Apalagi dia termasuk anak yang super aktif mengikuti banyak kegiatan di luar kegiatan resminya sebagai mahasiswa.

“Sekali ini saja Mama minta tolong Fikran supaya nurut dengan rencana Mama dan Papa. Kamu nggak mau kan Mama dan Papa malu kepada keluarga Oom Kusno karena janji kita meleset?” Aku coba memberi pengertian.

Dia membalasnya, “Tapi Mama juga harus peduli sama Fikran. Bagaimana jadinya kalau acara ini Fikran batalkan. Wah, mereka pasti bilang aku ini anak mama yang takut kemping di gunung. Fikran malu kan, Ma!”

Sebelum perdebatan antara aku dan Fikran berlanjut, Akil, Ulwan dan Ridho sudah keburu datang. Aku pun terpaksa harus merelakan Fikran pergi dengan ketiga kawannya, meski sebenarnya batinku tidak merelakannya.

Sebagai anak tunggal, Fikran memang sering kali manja. Tapi di samping manja, dia juga sesungguhnya sangat peka membaca perasaan Mamanya. Aku tahu persis bagaimana perasaan Fikran yang sebenarnya saat pergi di hari Sabtu pagi itu. Dia pasti tidak enak hati meninggalkanku sebab dia belum bisa membuat Mamanya ini merasa yakin dengan berbagai dalih yang dikemukakannya. Dia juga tahu persis kalau aku masih kesal pada dirinya.

Mungkin karena perasaan itu, Fikran sedikit takut pulang ke rumah. Karena itulah dia menyusun dramatisasi sedemikian rupa. Tentu dengan maksud agar aku kembali perhatian padanya. Ya, namanya saja anak semata wayang, selalu saja ada akal untuk mencari-cari perhatian kedua orang tuanya, terutama Mama seperti diriku yang memang amat dekat dengannya.

Benarkah begitu?

Ternyata dugaanku salah. Hari minggu itu, sampai menjelang Maghrib Fikran belum juga keluar dari kamarnya. Bahkan, suamiku sempat bingung sebab tidak seperti biasanya Fikran tidur di siang hari sampai selelap itu.

“Mungkin dia sangat kecapekan, Pa! Biar sajalah, nanti kalau Maghrib belum juga bangun biar aku yang akan membangunkannya!” Kataku ketika memperbincangkan kelelapan tidur siang Fikran dengan suamiku di ruang tengah. Sampai sejauh ini aku memang belum menceritakan keanehan yang dialami oleh Fikran saat berkemah di Gunung Gede Pangrango, seperti yang diceritakan oleh teman-temannya saat mengantar Fikran pulang siang tadi. Kebetulan, waktu itu suamiku memang tidak sedang berada di rumah, sebab dia sedang berkunjung ke rumah Pak Kusno, setelah malamnya kami terpaksa membatalkan kunjungan kami akibat penolakan Fikran. Tentu saja suamiku tidak mengatakan alasan yang sebenarnya, sebab hal tersebut pasti akan sangat menyinggung perasaan Pak Kusno dan keluarganya.

Ketika Adzan Maghrib berkumandang di kejauhan, suamiku kembali mengingatkan agar aku segera membangunkan Fikran. Aku pun selekasnya ke kamar Fikran. Hati-hati kuketuk pintu kamarnya. Karena tidak ada jawaban, aku pun akhirnya memilih masuk. Kutarik nafas berat sambil geleng-geleng kepala ketika kulihat Fikran masih tidur lelap sambil mendengkur. Dan, suara dengkurannya itu benar-benar membuat bulu kudukku berdiri meremang karena amat mirip dengan suara dengkur harimau yang tidur.

Sambil membuang rasa cemas jauh-jauh, kudekati ranjang Fikran.”Fikran, bangun, Nak!” Kataku sambil mengguncang-guncang tubuhnya.

Karena tidak juga bangun, aku kembali mengulangnya beberapa kali. Sampai akhirnya secara serentak Fikran bangun dan langsung mengejutkanku.

Ya, bagaimana aku tidak terkejut sebab anak semata wayangku itu begitu bangun kulihat wajahnya bersemu merah seperti kepiting direbus, dan sepasang matanya juga nampak merah saga. Dengan tajam dia menatapku.

“Fiiik…kamu kenapa, Nak?” Tanyaku dengan tubuh mulai gemetar.

Fikran tidak menjawabnya. Malahan, dengan gerakan seperti seekor harimau yang sedang memantau mangsanya, dia mengitarkan pandangannya ke sekeliling, seolah dia bingung dengan keadaan kamarnya sendiri. Yang membuat hatiku kian kecut, dari mulut Fikran terdengar suaramengaum-ngaum kecil, yang benar-benar sangat mirip dengan suara harimau. Paaa…lekas kemari, Paaa!?” Pekikku sambil

waspada terhadap Fikran yang sepertinya memang berada di luar kontrol kesadarannya.

Hanya sekejap kemudian suamiku datang. “Ada apa, Ma?” Tanyanya, bingung.

Aku langsung memberikan isyarat untuk melihat Fikran. Suamiku pun langsung heran demi melihat keadaan putra tunggalnya itu.

“Fikran, kamu kenapa?” Tanyanya dengan Cemas. Tanpa curiga, dia langsung mendekati Fikran. Ketika dia bermaksud menenangkannya, dengan sengit Fikran malah mendorong tubuh Papanya, sehingga hampir saja jatuh terjerembab.

“Apa yang terjadi denganmu, Fik?” Tanya suamiku, seolah tak percaya dengan perubahan sikap anaknya. Dia bermaksud memegang lengan Fikran. Namun, sekali lagi, di luar dugaan, Fikran malah langsung mendorongnya. Karena dorongan kali ini jauh lebih kuat dibandingkan yang tadi, maka suamiku benarbenar terhuyung tubuhnya. Untung saja punggungnya menabrak tembok, sehingga dia tidak jatuh terjerembab.

“Sepertinya Fikran kesurupan, Pa!” Kataku yang ketika itu langsung teringat pada cerita teman-teman anakku siang tadi. Dan aku mulai yakin kalau cerita itu memang benar.

“Kalau begitu cepat cari bantuan, Ma!”perintah suamiku.

Aku langsung berlari ke luar rumah.Untungnya, di kompleks itu rumahku sangat dekat dengan pos satpam. Karena itulah,begitu aku begitu aku berteriak-teriak meminta tolong dari teras rumah, tiga orang satpam langsung mendatangiku.

“Ada apa,Bu?”Tanya salah seorang mereka.

“Cepat masuk, Pak!”Pintaku Sambil segera bergegas lari ke dalam.

Ringkas cerita, ketiga satpam itu langsung berupaya memenangkan Fikran yang saat itu sedang mencakar-cakar dinding, bahkan sudah berhasil menghancurkan bantal dengan gigitannya.

Dua orang Satpam berusaha meringkus Fikran. Mereka berhasil memegangi tangan anak tunggalku itu. Namun celakanya,hanya sekali hentakkan saja keduanya langsung terpental jatuh.

“Gila, tenaganya kuat sekali!” Kata salah seorang satpam yang barusan jatuh.

“Biarkan saja, jangan dilawan!” Kata Pak Kumis, komandan Satpam yang menyusul datang. Pria paruh baya yang bernama asli Madnunung ini sepertinya cukup paham dengan apa yang terjadi terhadap diri Fikran. Buktinya, dia malah mengajak Fikran berdialog dalam Bahasa Sunda, karena kebetulan pria berkumis baplang sehingga akrab di sapa Pak Kumis ini memang berasal dari daerah Leuwiliang, Bogor.

“Hapuenteun, Uyut! Upami aya nu dihoyongan sok wae dikeudalkan. Insya allah ku incu deuk dicumponan (Mohon maaf Mbah! Seandainya ada yang diinginkan,silahkan katakan. Insya Allah oleh cucu akan dipenuhi kata Pak Kumis.

Aneh sekali, Fikran langsung menjawab dengan suara jenis bariton yang serak, yang jelas sekali bukan suaranya yang asli. Dan yang lebih aneh,dia juga menjawab dengan, Sunda. Padahal, Fikran tidak pandai berbahasa Sunda, sebab kami memang bukan oran, Sunda.

“Uyut hayang dahar, hayang ngopi! (Mbah kepingin makan, kepingin ngopi)!”

Mendengar jawaban itu, Pak Kumis langsung memandang ke arahku. “Apa Ibu punya daging?” Tanyanya.

“Untuk apa, Pak?” Aku balik bertanya karena bingung. |

“Untuk memberi makan jin harimau yang bersemayam dalam tubuh anak Ibu. Cepatlah, hanya dengan cara ini kita bisa menenangkannya!” Tandas Pak Kumis. “Jangan lupa, bikinkan juga segelas kopi pahit!”

Aku segera memanggil Bi Asih, pembantu di rumahku untuk mengambil daging dikulkas sekaligus membuatkan segelas kopi pahit

Sementara Bi Asih melaksanakan perintahku, sementara itu pula Pak Kumis tidak hentinya membujuk agar apa yang disebutnya sebagai Uyut itu sabar. Sesekali Fikran terdengar mendengus-dengus. Tapi sepertinya semua itu dilakukan oleh Uyut, kekuatan gaib yang bersemayam dalam tubuhnya.

Tak lama kemudian Bi Asih datang membawa sekepal daging dan segelas kopi. Pak Kumis kemudian menyodorkan daging yang diletakkan di atas piring itu pada Fikran, kemudian baru segelas kopi pahit. Aneh bin ajaib, seperti seorang yang sangat kelaparan, Fikran langsung menyambar daging itu. Lalu, dengan lahap dia menyantapnya. Ah, menjijikan sekali! Sampai-sampai aku meringis melihatnya. Dan, tak terasa pula air mataku jatuh menitik karena melihat keanehan anakku itu.

Yang tak kalah aneh, setelah memakan daging dan menghabiskan segelas kopi, tubuh Fikran berubah lemas. Dia lalu tertidur lelap, namun kali ini tak terdengar suara dengkurannya yang menyeramkan itu. Ya, dia tidur sebagaimana wajarnya.

“Kalau tidak segera dicarikan orang pintar, keadaan putra Ibu pasti akan seperti ini terus. Jin harimau itu sesekali akan datang, dan meminta makanan dan minuman seperti tadi,” jelas Pak Kumis.”

“Memangnya, apa yang terjadi dengan anak kami, Pak?” Tanya suamiku.

Pak Kumis menghela nafas berat. “Kalau di kampung saya, gejala semacam ini biasa disebut Kasandingan Uyut Si Maung. Maksudnya, ada kekuatan gaib harimau yang merasuk ke dalam tubuh manusia. Tapi yang membuat saya heran, kenapa ini sampai menimpa anak Bapak? Padahal, gejala kesurupan semacam ini biasanya hanya menimpa orang-orang yang berada di Tanah Pasundan, khususnya di daerah Bogor dan sekitarnya, sebab menurut kepercayaan yang menyusup itu adalah harimau kesayangan Prabu Siliwangi yang telah berubah menjadi jin sebab sudah ngahyang bersama tuannya, jelasnya.

“Fikran baru pulang berkemah dari Gunung Gede, Pak!” Ujarku.

Pak Kumis terbelalak. Terlebih ketika kuceritakan apa yang dialami oleh Fikran, sesuai dengan laporan Akil, Ulwan, dan Ridho Minggu siang tadi.

“Kalau benar begitu, berarti Nak Fikran memang Kasandingan Uyut Si Maung. Menurut hemat saya, Bapak dan Ibu harus segera mencari jalan keluarnya,” saran Pak Kumis.

“Kalau begitu apa yang harus kami lakukan, Pak?” Tanya suamiku.

“Bapak saya termasuk seorang yang bisa berkomunikasi dengan Uyut Si Maung. Di kampung kami, beliau sering menangani orang-orang yang kasandingan. Masalahnya, usia beliau sudah sangat tua. Sulit sekali kalau harus saya ajak ke Jakarta, apalagi kalau harus naik angkutan umum, jawab Pak Kumis.

“Kalau begitu, biar saya yang akan menjemputnya, Pak!” Tanggap suamiku dengan antusias.

“Tolong bantu kami, Pak! Bapak tahu kan Fikran anak kami satu-satunya, tandasku.

Pak Kumis manggut-manggut. “Kalau begitu besok kita jemput Bapak saya di Leuwiliang!” Katanya.

Aku dan suami menarik nafas lega. Syukur Alhamdulillah, malamnya tidak terjadi sesuatu dengan Fikran. Malahan, sekitar pukul 21.30

dia bangun dari tidurnya dan minta dibuatkan mie goreng kesukaannya. Dia juga tidak bertanya apa-apa, dan kami pun sengaja tidak memberikan pertanyaan macam-macam kepada dirinya.

BAPAKNYA PAK KUMIS yang usianya sudah hampir 70 tahun itu bernama Haji Rais. Dia memang seorang yang nampak sangat alim dan berilmu. Begitu melihat keadaan Fikran, dia langsung geleng-geleng kepala. Katanya, dia melihat tanda hitam di atas kening Fikran. Ini
berarti, Fikran akan terus diikuti oleh apa yang disebut sebagai Uyut Si Maung itu.

Kepada Pak Haji, demikian sapaan akrab Haji Rais, Fikran juga mengaku sudah kencing sembarangan di Gunung Gede. Selepas kencing, dia merasakan kepalanya berat, lalu keadaan di sekelilingnya berubah. Fikran bertemu dengan seorang kakek yang mengajaknya singgah di rumah besar dan mewah. Dia disuguhi makanan yang serba enak oleh kakek itu. Karena lapar, dia memakannya dengan lahap. Setelah itu, Fikran merasa sangat mengantuk, hingga akhirnya dia pun tertidur dengan pulas.

“Fikran nggak ingat apa-apa lagi. Hanya setelah kejadian itu Fikran jadi mudah sekali mengantuk, aku Fikran di hadapan Pak Haji.

Dengan sebuah akik sebesar telur itik Pak Haji berusaha menyembuhkan anakku. Batu berwarna kuning seperti mega senja yang di dalamnya terdapat rona seperti harimau yang sedang mengaum itu direndam di dalam sebaskom air bersih. Air rendaman itulah yang kemudian diminumkan kepada Fikran,sedangkan sisanya digunakan untuk mandi. Pak Haji juga membacakan mantra-mantra yang terdiri dari untaian kata-kata berbahasa Sunda Buhun.

Aneh sekali, setelah diberi minum air rendaman batu tersebut dan dimandikan oleh Pak Haji, tubuh Fikran bergetar hebat. Mulutnya tak henti mengaum-ngaum, sampai kemudian dia jatuh tak sadarkan diri.

“Ada apa, Ma? Apa yang terjadi dengan Fikran?” Tanya anak kesayanganku itu setelah bangun dari tidurnya. Aku langsung memeluknya dengan penuh kasih sayang.

“Nggak apa-apa, Nak! Semuanya sudah usai,” kataku sambil mengelus rambutnya. Saat itu Akil, Ulwan dan Ridho ikut menyaksikan. Mereka juga bahagia melihat Fikran sudah sembuh dari pengaruh gaib jin harimau itu.

Pak Haji Rais juga mengatakan bahwa gangguan jin harimau penjelmaan dari hewan kesayangan Prabu Siliwangi itu telah usai. Uyut Si Maung telah kembali ke istananya yang ada di puncak Gunung Gede Pangrango. Menurutnya, setelah dipagari dengan kekuatan ilmu gaib miliknya, maka Insya Allah makhluk itu tidak akan kembali untuk
mengganggu Fikran, anakku.

Kami sekeluarga tentu saja berharap agar apa yang diperkirakan oleh Pak Haji Rais itu memang benar adanya. Akan tetapi rupanya harapan ini sia-sia. Selang kurang dua minggu, persisnya pas malam Jum’at, sesuatu yang aneh terjadi. Tengah malam, aku dan suamiku mendengar suara mengaum dari arah kamar Fikran. Ketika kami membuka pintu kamarnya, kami melihat Fikran tengah berguling-guling seperti ahli kungfu yang sedang memainkan jurus-jurus harimau.

“Fikran….sadarlah,Nak!”Bujuk Papanya dengan cemas.

Fikran sepertinya menggubris bujukan ini. Buktinya, dia langsung menghentikan gerakan-gerakan tubuhnya yang aneh itu. Suara auman dari mulutnya juga mendadak hilang. “Ma…Pa!” Cetusnya, sambil memandang kepada kami. Namun dengan sorot mata yang datar dan kosong.

“Kamu kenapa, Nak?” Tanyaku, hampir menangis.

Kulihat Fikran ragu memberikan jawaban. Entah kenapa? Hanya yang pasti, dia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. “Aku ngantuk…mau tidur!” Katanya dengan suara yang yerdengar dalam sekali.

Hati-hati aku menyelimutinya. Dia memang tak beraksi. Sampai akhirnya kulihat dia kembali lelap. Dan, memang tidak terjadi apa-apa lagi. Bahkan hingga keesokan paginya.

Malam Jum’at berikutnya kejadian yang sama juga berulang. Tapi sekali ini jauh lebih menegangkan. Ketika aku hampir terlelap
di sisi suamiku, tiba-tiba kudengar ada benda keras yang jatuh. Spontan kubangunkan suamiku yang sudah mendengkur

Fikran, Pa! Kataku, cemas.

Kami segera bangun dan langsung meninggalkan kamar. Setibanya di ruang tengah, kami terpana melihat apa yang terjadi. Sungguh mengherankan sekaligus menjijikan. Kami melihat Fikran tengah melahap ikan arwana kesayangan papanya. Tentu saja dalam kondisi hidup-hidup.

Tubuhku gemetar. Ketika aku bermaksud menegur Fikran, suamiku melarangnya. Akhirnya, kami membiarkan Fikran menghabiskan arwana itu, sampai yang tersisa hanya bagian kepala dan tulang belulangnya.

Herannya, setelah kenyang menyantap ikan itu, Fikran kembali masuk ke dalam kamarnya. Selanjutnya, kami tak tahu apa yang dilakukannya, sebab saat itu suamiku sibuk menenangkan diriku yang menangis karena panik dan takut.

Setelah malamnya menyantap arwana, paginya Fikran kelihatan sangat ceria. Aku dan papanya tentu saja bingung melihatnya. Tapi, kami berdua memang sengaja tak mempermasalahkan kejadian semalam, sebab sepertinya Fikran memang tidak menyadari apa yang telah diperbuatannya.

“Sebaiknya, kita harus kembali meminta pertolongan Pak Haji Rais, Pa!” Kataku.

“Iya, aku setuju. Tapi, bagaimana caranya? Kau tahu sendiri kan Pak Haji Rais itu usianya sudah sangat tua. Kata Pak Kumis, kemarin saja dia langsung jatuh sakit sepulang dari rumah kita” jawab suamiku.

“Terus bagaimana dong, Pa? Kita kan nggak punya informasi tentang orang pintar yang bisa mengatasi keadaan semacam ini.

Suamiku mengerutkan keningnya. Lalu, katanya, “Mungkin kita bisa minta tolong Pak Kumis untuk meminta air kepada Bapaknya, Pak Haji Rais.”

“Papa benar juga. Kita beri ongkos Pak Kumis secukupnya, termasuk uang obat buat Pak Haji,” ujarku menyetujuinya.

Setelah hal tersebut kuutarakan kepada Pak Kumis, dia memang tidak keberatan membantu kami. Tentu saja, aku dan Papanya Fikran amat senang dan berterima kasih kepada Pak Kumis.

Singkat cerita, Pak Kumis kembali datang dan membawakan air yang telah diberi doa oleh Pak Haji Rais sebanyak satu botol besar bekas kemasan air mineral. Sama seperti yang lalu, air itu harus diminumkan pada Fikran, dan selebihnya dibuat untuk mandi.

“Kata Bapak saya, Insya Allah Nak Fikran tidak akan berulah macam-macam. Tapi ada syaratnya. Setiap malam Jum’at Bapak dan ibu harus menyediakan daging mentah dan air kelapa hijau untuk suguhan Uyut Si Maung,” kata Pak Kumis saat memberikan air doa itu.

Sebenarnya, aku bermaksud namun suamiku langsung menyela,”Nggak apa-apa, Ma! Yang penting Fikran tetap kontrol!”

Demi kebaikan anak kami, hal yang aneh danmusykil itu memang harus kami lakukan juga. Ya, setiap malam Jum’at kami selalu menyiapkan sekerat besar daging dan air kelapa hijau yang masih berada di dalam Kelapanya. Suguhan ini kami letakkan di pojok ruang tengah, dan tentu saja tanpa sepengetahuan Fikran. Hal ini memang termasuk hal disyaratkan oleh Pak Haji Rais.

Di setiap malam Jum’at pula kami melihat keanehan yang sungguh mengherankan sekaligus menjijikan itu. Tepat pukul 24.00 Fikran pasti akan bangun dari tidurnya. Setelah mengaum-ngaum seperti layaknya seperti harimau, dia lalu menyantap daging mentah itu dengan lahapnya, lalu menenggak habis air kelapa hijau yang aku suguhkan.

Kalau aku tak salah menghitungnya,sudah, hampir tiga bulan keanehan ini terpaksa harus kami jalani. Ya, setiap malam Jum’at kami harus menyaksikan anak semata wayang kami berulah seperti layaknya seekor harimau kelaparan. Dia menyantap daging mentah lalu meregukan habis air kelapa hijau suguhannya. Betapa menyedihkan kenyataan ini, dan sejujurnya aku sangat mendambakan semua ini berlalu.

Karena berat menghadapi kenyataan tersebut, akhirnya kuputuskan untuk menuliskan semua yang saya alami keluarga kepada majalah Misteri, Aku sangat berharap agar tulisan ini kiranya dapat ditempatkan pada Rubrik Catatan Hitam, sehingga dengan demikian bisa mendapatkan tanggapan dari pengasuh, sekaligus bisa memberikan solusinya.

Kasus mistis yang dialami oleh keluarga saya ini memang sangat mungkin sebagai kasus yang sangat langka. Banyak orang, mereka terdiri dari teman, tetangga, bahkan keluargaku sendiri yang sulit menerima kenyataan yang menimpa Fikran ini. Mereka menganggap, hal ini terlalu dilebih-lebihkan. Ya, bukan salah mereka jika harus menganggapnya demikian sebab mereka memang belum pernah melihat kenyataan yang sebenarnya.

Sampai sejauh ini, Fikran juga belum tahu tentang keanehan yang melekat pada dirinya, terutama keanehan yang terjadi pada setiap malam Jum’at itu. Aku dan suami memang sengaja merahasiakan hal ini karena takut membuat batin Fikran terpukul.

Walau Fjikran memang tidak berbuat keonaran yang macam-macam, namun kami sebagai orang tuanya amat sedih melihat keanehan yang terjadi pada dirinya. Karena itu dengan sangat kami sekeluarga mengharapkan solusi dari Bapak Pengasuh. Akhirnya, saya ucapkan banyak terima kasih! ©️KYAI PAMUNGKAS. 

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: dukun.digital
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Mistis: Pengalaman Gaib di Alam Siluman Kalong Wewe

admincenayang

Kisah Kyai Pamungkas: HANTU USIL GEDUNG INDOSAT

admindukun

MISTERI PETAKA DI DESA KANIGORO

admincenayang
error: Content is protected !!